Pencarian

Jumat, 20 Januari 2012

Kampus Pendidikan, Berwawasan Wisata Nasional


Biaya pendidikan saat ini semakin gila dengan model kebijakan (Badan Hukum Milik Negara) BHMN yang sekarang ini katanya akan mulai diterapkan di kampus besar ternama. Seperti, Instutut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Islam Negeri (UIN).
 

Atas dasar kebijakan pemerintah tentang status BHMN ini,  kampus diatas pun
berlomba-lomba memasang tarif mahal untuk jalur khusus yang mereka tawarkan. Jalur khusus ini di'jual' kepada calon mahasiswa kaya meski secara akademik tidak masuk kualifikasi. Tak tanggung-tanggung, angkanya dapat mencapai ratusan juta rupiah. Akibatnya masyarakat yang kebanyakan sebagai masyarakat menengah kebawah harus gigit jari lantaran tak mampu membayar mahal. Semoga nasib yang sama tidak melanda akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) kedepannya.

Saya menilai bahwa implementasi kebijakan ini sangat premature diterapakan oleh pihak institusi kampus. Implikasi yang terjadi terpersepsi hanya bagaimana caranya mengeruk uang dari masyarakat lantaran kampus diberi wewenang kebijakan untuk mencari biaya operasional ini. Alasan mereka karena pemerintah sudah tak lagi mengucurkan subsidi pendidikan. Perlukah adanya POK di kampus diwaspadai sebagai sarana untuk melancarkan kebijakan BHMN ini untuk ikut bersama-sama go Internasional. Wallahu a'lam

Jalan pikiran seperti ini memang mirip kebijakan Pemerintah ketika harga minyak dunia melambung tinggi. Alih-alih menyiapkan berbagai 'senjata' untuk menangkalnya, pemerintah malah cuma siap menaikkan harga BBM yang notabene berimbas kuat bagi 61 juta warga miskin di Indonesia (data World Bank).

Soal minyak ini Indonesia jauh kalah dengan sistem pemerintahan di Norwegia. Meski beberapa puluh tahun lalu mereka kalah jauh dengan Indonesia dalam eksplorasi hasil bumi (minyak dan gas), namun kini mereka sudah jauh melampaui Indonesia. Justru saat ini mereka termasuk negara yang menikmati keuntungan imbas kenaikan harga minyak dunia.

Berbeda jauh dengan Indonesia. Sejak dulu hingga kini Indonesia cuma bisa menghasilkan minyak mentahnya saja tanpa memiliki teknologi yang dapat 'menyulapnya' menjadi BBM. Alhasil, negara yang katanya kaya kandungan minyak ini malah buntung ketika harga inyak dunia melonjak naik.

Kenapa Norwegia bisa melesat melampaui Indonesia? Karena Norwegia memiliki kebijakan yang tegas tentang alih teknologi. Termasuk dalam perminyakan. Saat ini kilang-kilang minyak di Norwegia sangat sepi dari tenaga-tenaga asing. jauh berbda 20 atau 30 tahun lalu yang masih didominasi orang Barat sebagai main engineer dan pengambil kebijakan oparasonal. Norwegia memang cerdas, sehingga mereka tak hanya mau menanam teknologi yang sekedar mengeksplorasi saja, namun mereka juga berupaya keras membangun industri yang mampu mengolah minyak mentah menjadi BBM. Meski biaya yang harus digelontorkan mahal pada tahap awalnya.

Kini masyarakat Norwegia dapat tersenyum dan menikmati ketika harga minyak dunia melambung tinggi. Sedangkan Indonesia.. rakyatnya semakin tercekik dan menjerit. Sebuah langkah ekonomi yang kurang cerdas untuk Indonesia.

Kembali ke soal BHMN, kebijakan pendidikan tinggi kita ini menurut saya memang salah kaprah. Persepsi yang dibangun memang lebih kepada basis materialis. Para pengelola pendidikan tinggi sepertinya memang sadar atau tak sadar telah membangun menara gading bahwa pendidikan yang berkualitas harus dibayar dengan biaya yang tinggi dan mahal. Tidak ada jalan lain.

Makanya, dengan persepsi seperti ini, banyak masyarakat yang tak mampu mengenyam pendidikan yang layak.. Padahal potensi mereka jika dibina dengan benar tak kan kalah bersaing dengan dunia luar. Sebut saja Profesor termuda yang baru-baru ini di nobatkan AS adalah berasal dan berwarga negara Indonesia (WNI).

Prof. Nelson Tansu, lahir di di Medan , 20 October 1977. Lulusan terbaik dari SMA Sutomo 1 Medan. Pernah menjadi finalis team Indonesia di Olimpiade Fisika. Meraih gelar Sarjana dari Wisconsin University pada bidang Applied Mathematics, Electrical Engineering and Physics (AMEP) yang ditempuhnya hanya dalam 2 tahun 9 bulan, dan dengan predikat Summa Cum Laude. Kemudian meraih gelar Master pada bidang yang sama, dan meraih gelar Doktor (Ph.D) di bidang Electrical Engineering pada usia 26 tahun. Ia mengaku orang tuanya hanya membiayai-nya hingga sarjana saja. Selebihnya, ia dapat dari beasiswa hingga meraih gelar Doktorat. Dia juga merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi Profesor di Lehigh University tempatnya bekerja sekarang (sumber: milist).

Sayang sekali orang-orang yang berkesempatan seperti Prof. Tansu ini sangat sedikit. Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang 220 juta jiwa tentu sangat miris. Persepsi pendidikan ini pula yang telah menjadikan fakta bahwa dunia pendidikan kita jauh terlampaui oleh negeri tetangga Malaysia. Padahal dahulu Malaysia ‘mengemis’ ke Indonesia dalam masalah ini. Banyak guru-guru dari Indonesia yang di’impor’ negeri Jiran itu untuk mengajari mereka ‘membaca dan menulis’. Tapi sekarang??? Banyak orang pintar Indonesia yang mengais makanan di negeri tetangga itu.

Beberapa tahun lalu saya pernah membaca sebuah artikel Industri di Eropa. Saya lupa dimajalah apa. Salah satu negara yang diulas adalah Jerman. Dalam tulisan itu disebutkan tentang Dunia Baru Pembangunan Industri di negaranya Klinsman. Dimana dalam tataran tertentu, Jerman sedang mengembangkan pembangunan pabrik-pabrik yang berwawasan wisata. Maksudnya, model industri yang selama ini terkesan full-dangerous dan not friendly bagi masyarakat umum akan di rubah menjadi tempat yang justru menarik untuk dikunjungi. Karenanya, mereka (termasuk beberapa negara eropa lainnya) berlomba untuk mendesign pabrik dengan bentuk yang se-estetik mungkin, ramah lingkungan, dan friendly bagi masyarakat luar. Tentu tanpa harus membahayakan rahasia produk mereka sendiri.

Nah, ide ini sangat realistis diadopsi untuk dibangun oleh kampus-kampus berstatus BHMN di Indonesia yang namanya sudah beken dan go internasional. Dengan konsep seperti ini, tentu dapat menghasilkan celah untuk mengalirkan income bagi Kampus itu sendiri. Tinggal kerjasama dengan dinas Pariwisata setempat untuk mengelolanya. Apalagi diketahui bahwa 4 kampus yang berstatus BHMN ini memang memiliki area dan lahan yang sangat luas yang sangat mungkin untuk mengimplementasikan konsep ini.

Selain itu, dengan semakin padatnya pembangunan di kota-kota besar dan semakin meningkatnya awareness masyarakat akan dunia pendidikan, belakangan ini banyak kampus yang melakukan ekspansi ke daerah pinggiran atau pedesaan dengan 'mencaplok' lahan yang sangat luas. Maka penerapan konsep ini akan lebih mudah dan realistis. Jika Petronas sudah memiliki 2 menara kembarnya yang mencakar langit Malaysia, bagaimana dengan kampus-kampus bonafit di Indonesia????

Ayo.. kampus mana yang berani menjadi pionir sebagai kampus berwawasan wisata nasional. Apakah UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta Mampu Menjawabnya? Kita tunggu aksinya! Wallahu a'lam

[Sumber]
Judul asli: Membangun Kampus Berwawasan Wisata Nasional

Tidak ada komentar: